Oleh ; Muhammad Mahdiannoor
Redaktur :Koran Mediapublik.online Mediapublik.net dan Kabar Borneo raya.com
Banjarmasin ; Mediapublik
Bedanya anak pengusaha dengan anak penguasa yang pasti berbeda dalam hal seleranya. Jika anak seorang pengusaha minta hadiah pada orang tuanya konsesi sebuah pulau, maka bagi anak seorang penguasa dianggap wajar minta dibelikan partai politik jika ingin melanggengkan kekuasaan warisan untuk keluarga berikutnya.
Soal nilai semuanya toh hanya dalam bilangan angka-angka saja, tak ada rincian bagi nilai non materi, seperti yang dapat disebut berdimensi spiritual. Begitulah penjajahan materialis kapitalistik paling modern di abad ini. Jadi tak mungkin dipautkan dengan dimensi ilahiah atau kemanusiaan yang diyakini paling hakiki itu.
Semua bentuk dan nilai cukup ditakar dengan kadar materi yang memiliki nilai jual politik atau ekonomi semata. Jadi tak sedikitpun mengendus dimensi budaya, apalagi agama. Karenanya, keberadaan Tuhan pun telah diubah dalam bentuk angka-angka yang memiliki peluang untuk diperjual belikan.
Jadi kalau sekedar sumpah dan janji saat menerima amanah dari rakyat untuk mengelola bangsa dan negara itu cuma sekedar penggenap dari seremoni agar pelantikan sebagai pejabat publik menjadi absah dan bisa dianggap halal. Sehingga dalam tata kerja dan fungsi yang harus dan wajib untuk dijalankan, cukup semampunya saja, lantaran hakekat amanah itu sekedar sampiran pemantas belaka.
Selebihnya tinggal improvisasi bagaimana caranya mengumpulkan harta segunung sambil menata kelanggengan kekuasaan yang berkelanjutan, sekiranya pun tidak mampu membangun dinasty baru dalam tata negara yang sudah disepakati berbentuk Republik.
Tampaknya seperti itulah kecenderungan angin yang tengah bertiup -- menghangat -- di negeri kita yang bernama Indonesia. Sehingga kecurigaan untuk mengubah nama Indonesia ini menjadi Nusantara sangat terkesan bombas dan arogan. Sebab mengubah nama Indonesia itu tidak segampang nama seseorang yang cukup disembelihkan beberapa ekor hewan saja sebagai penggenap upacara selamatan dengan nasi kuning agar tidak sampai kuwalat.
Negeri kita yang maha luas dan kaya raya -- tak hanya hasil bumi dan kandungan alam serta lautnya -- tapi tradisi dan budaya hingga keragaman suku bangsa, bahasa bahkan aksara lokal yang nyaris tidak dimiliki oleh suku bangsa lain di luar Nusantara -- sungguh luar biasa menandai peradaban manusia yang tak banyak di muka bumi ini.
Kejayaan cita rasa selera makanan dan masakannya pun, akan menghasilkan buku yang berjilid-jilid bila hendak diterbitkan. Begitu juga seni budaya kerajinan, sulaman, anyaman, tenunan dan keragaman pantun hingga warga musik yang khas. Tidak sedikit diantaranya yang memuat mantra, petuah, pesan bijak yang telah dilupakan sebagai bagian dari kekayaan ilmu pengetahuan untuk penuntun jalan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kearifan lokal pun dari semua suku bangsa kita sebagai warisan dari para leluhur tinggal sayup-sayup, jika belum sungguh dianggap seperti fosil peninggalan purba yang dianggap aneh dan tak masuk akal. Padahal, tidak semua hal memang mampu dicerna oleh akal. Sebab terlalu banyak sesungguhnya yang hanya dijelajah oleh kemampuan spiritual yang telah dibekali oleh Tuhan sejak asal manusia berada. Mulai dari segenap organ tubuh diri kita sendiri pun, sungguh tidak cukup banyak yang mampu untuk dipahami dengan akal manusia yang paling jenius sekalipun. Hingga puncak dari pertanyaan spiritual, bisa berawal sekaligus berakhir pada hakekat kematian yang tidak bisa dihitung oleh bilangan angka-angka yang gaib sekalipun...(*MP)
0 Komentar